teks ulasan film filosofi kopi



TEKS ULASAN
“KESEMPURNAAN HIDUP DARI SECANGKIR KOPI”
smansa.jpg










Disusun Oleh
Gendrih Wanodyo Lebdo Gati            (10)
               Hafid Abi Daniswara                            (11)
               Hanin Kusuma Ardy                             (12)
               Muhammad Rizky Iqbal                       (20)
               Nina Bonita                                            (21)
                                                               

PEMERINTAH KABUPATEN TUBAN
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA
SMA NEGERI 1 TUBAN
Jalan W.R. Supratman 2 TubanTelp (0356) 321272 Fax (0356)321272
E-mail / Website :sman1tuban@gmail.com / www.smansatuban.sch.id


KESEMPURNAAN HIDUP DARI SECANGKIR KOPI



20170428172211.jpg
 













Identitas novel
Judul               : Filosofi kopi
Penulis             : Dee Lestari
Penerbit           : Trueedi Books dan Gagas Media
Tahun terbit     : 2006
Genre              : Persahabatan dan kekeluargaan
Halaman          : 30












20170428151000.jpg
 













Identitas film
Judul               : Filosofi kopi
Sutradara         : Angga Dwimas Sasongko
Produser          : Anggia Kharisma, Handoko, Hendrayana dan Glen Fredly
Pemeran          : Chicco Jerikho           (Beni)
                          Rio Dewanto             (Jodi)
                          Julie Estelle               (El)
                          Jajang C. Noer          (Ibu Seno)
                          Slamet Rahardjo       (Pak Seno)
                          Atig Pakis                 (Ayah Ben)
Produksi          : Visinema Picture
Durasi             : 1 jam 53 detik
Tahun rilis       : 2015
Genre              : Persahabatan dan kekeluargaan





Sinopsis Film
            Hutang ratusan juta yang diwariskan dari ayah Jody melilit pada Kedai Filosofi Kopi yang dibangun oleh Jody dan Ben. Saat keduanya tengah mengatasi masalah hutang, datanglah pengusaha yang ingin memenangkan tender. Ternyata,  client pengusaha itu seseorang pecinta kopi. Sayangnya, Ben tidak tertarik dengan tantangan itu meskipun sudah di bujuk dengan imbalan uang seratus juta. Jody yang mendengar tawaran itu memiliki pemikiran yang berbeda dengan Ben. Jody ingin Ben mengambil tantangan itu mengingat Ben yang pandai meracik kopi tidak menutup kemungkinan mereka memenangkan tantangan .  
            Ketika Ben dan Jody tengah berbahagia lantaran Ben berhasil menciptakan “Ben’s Perfecto Coffee” Kedai Filosofi Kopi kedatangan seorang wanita berparas cantik, El, yang juga pecinta kopi dan tengah sibuk menulis buku tentang kopi di seluruh Asia. Menurutnya,“Ben’s Perfecto Coffee” yang ia teguk tak sesempurna namanya, justru Kopi Tiwus di Ijen yang menurutnya paling sempurna. Ben dan Jody tak punya pilihan lain selain pergi mencari Kopi Tiwus yang akan menentukan kelangsungan Filosofi Kopi dan persahabatan mereka. Selain itu mereka juga terdesak karena kekurangan biaya untuk berobat suami sahabatnya yang juga rekannya di Filosofi Kopi.
            Sesampainya di kedai kopi Pak Seno, mereka disuguhkan Kopi Tiwus buatan Pak Seno. Seusai meneguknya, Ben merasa kenikmatan “Bens’s Perfecto” tersaingi. Merasa tidak terima dengan rasa kopi Tiwus yang lebih nikmat, ia melempari banyak pertanyaan kepada Pak Seno dan istrinya.
            Sepulangnya dari Ijen, Ben mengundurkan diri dari Filosofi Kopi, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, merengkuh kembali kenangan masa kecilnya. Tak disangka ia dihadapkan fakta tentang pengorbanan Bapaknya yang tidak ia ketahui selama ini, padahal ia sempat menjadikan Bapaknya sebagai jajaran orang yang paling ia benci dan menjadi penyebab ia meninggalkan rumah.




Sinopsis Novel
            Ben, peracik kopi yang mencari cita rasa kopi yang sempurna. Menurutnya dan temannya, Jody, kopi tidak hanya diminum, tapi memiliki arti yang mendalam. Mereka membuka kedai kopi dengan nama “Kedai Koffie”. Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis kopi yang berhasil ia racik. Lalu, mereka mengganti nama kedainya menjadi “Filosofi Kopi”, dengan selogan “Temukan Diri Anda di sini”, karena semua racikannya memiliki arti tersendiri.
            Suatu hari pria perlente berusia 30 tahun-an memberikan tantangan membuat kopi yang memiliki arti kesuksesan, dimana kesuksesan merupakan wujud kesempurnaan hidup. Apabila Ben berhasil membuat racikan sesuai dengan arti tersebut, Ben akan mendapatkan bayaran 50 juta. Hingga akhirnya, terciptalah “ Ben’s Perfecto Coffee” yang kemudian menjadi menu andalan.
            Pengunjung “Filosofi Kopi” semakin ramai, semua itu karena “Ben’s Perfecto Coffee”. Seorang pengunjung tua yang mampir ke Kedai Filosofi Kopi untuk mencicipi kenikmatan “Ben’s Perfecto Coffee”, setelah meneguknya sampai habis, bapak itu tidak segera memuji, tapi cuma berkata dengan wajah datarnya  yang juga diikuti suara datarnya “Kopi ini enak, tapi menurut saya ada yang lebih enak lagi”. Karena rasa penasarannya itu, Ben mendatangi alamat yang di berikan Bapak itu di daerah Merapi, Jawa Tengah. Ternyata kedai kopi di tengah perkebunan teh dan kopi ini memiliki gaya bangunan yang teramat sederhana, bahkan kesederhanaan ini juga ada pada pemilik kedai kopi, Pak Seno. Pembeli bisa minum kopi sambil makan pisang goreng dan membayar dengan uang seadaanya. Setelah Ben meneguk kopi tiwus, tiba-tiba Ben menghambur keluar, ia duduk sendirian di bawah pohon besar di luar sana. Tiba-tiba ia mengaku bahwa dirinya kalah. Ben menyodorkan selembar kertas kepada Jody yang berisikan hak kepemilikan Kedai Filosofi Kopi. Ben merasa diperalat oleh seseorang yang merasa punya segala-galanya, menjebaknya dalam tantangan bodoh yang cuma jadi pemuas egonya saja. Ben malu pada dirinya sendiri yang  telah menjejalkan kegombalan “Ben’s Perfecto Coffee” pada semua pelanggan setiannya. Sejak hari itu, Ben berhenti meramu kopi, hingga tinggallah Jody yang kerepotan melayani pengunjung setianya di Kedai Filosofi Kopi. Sejak hari itu juga, Jody teramat menyadari bahwa dirinya telah kehilangan sahabat terbaiknya.

           




























Tafsiran Isi
Film ini menceritakan kisah persahabatan dua anak laki-laki yang memiliki sifat dan latar belakang keluarga yang berbeda, namun sama-sama memiliki permasalahan dengan ayahnya, seperti tokoh Jody yang menyalahkan ayahnya atas hutang yang ditinggalkan “Amsyong banget deh, punya bapak hutangnya sama toko klontong gedean utangnya” (Sasongko, 05.26). Sedangkan tokoh Ben gemar berbicara mengenai filosofi kopi, seperti  saat pelanggan bertanya tentang filosofi kopi tubruk,  ia selalu mempunyai jawaban akan hal itu,
     “Kopi Tubruk itu lugu, sederhana, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam. Kopi tubruk tidak peduli penampilannya, kasar, membuatnya pun sangat cepat, seolah-olah tidak membutuhkan skill yang khusus. Tapi semua itu akan sia-sia jika Anda kehilangan tujuan yang sebenarnya, yaitu aroma”(Sasongko, 01.57).

 Walaupun memiliki kegemaran berfilosofi yang tinggi, Ben tetaplah Ben, sifat keras kepala tidak bisa dihilangkan dari sosok Ben, hal ini dibuktikan melalui adegan lelang kopi. Ben kukuh mendapatkan kopi terbaik, “Jod, gue nggak mau tahu pokoknya Lo harus dapatin itu”(Sasongko, 38.18), tapi Jody mampu meredam amarah Ben. Meskipun Ben keras kepala, tapi ia sangat menjaga persahabatannya dengan Jody, begitu juga dengan Jody. Jody berusaha mati-matian untuk mempertahankan kedai kopi milik mereka, meskipun sebenarnya ia bisa kerja di perusahaan, tapi ia selalu membantah saran teman-temannya. Ia menolak karena mementingkan Ben, sahabat karibnya, “Ya, bisa aja sih, Ji, kerja sama orang lain, tapi nanti Ben gimana?” bantah Jody pada salah satu temannya (Sasongko,06.02). Dalam film ini penonton disuguhkan dengan pemeran sampingan yang memiliki sifat beragam, seperti El yang memiliki sifat jujur tanpa mempedulikan perasaan orang lain, terbukti saat Ben bertanya pendapatnya mengenai “Ben’s perfecto coffee”, dengan entengnya menjawab “Not bad.”  (Sasongko, 46.12) dan karena hal itulah membuat Ben tersinggung dengan perkataan El. Selain El, ada juga tokoh sepasang suami istri yang sabar menghadapi tingkah laku Ben yang kurang sopan, tokoh ini juga memiliki sifat apik lainnya, yaitu mampu berdamai dengan takdir, terlebih saat mereka kehilangan Tiwus, anak semata wayangnya,  terbukti dari dialog antara Bu Sono, Jody, Ben dan El “Tapi ya sudah, semua sudah terjadi, mau disesali, mau diapakan, yang pergi tidak akan kembali”(Sasongko, 01.17.40).
            Film bergenre persahabatan ini secara keseluruhan menggunakan alur maju, tapi pada adegan Ben mengingat masa lalu tentang keluarganya menggunakan alur mundur(Sasongko, 01.05.56). Layaknya film lain, film berjudul “Filosofi Kopi” juga menyampaikan ajaran moral pada penonton untuk bersikap sopan dan menghargai pemberian orang lain(Sasongko,01.00.36). Nilai moral pada film yang berjudul “Filosofi Kopi” juga dapat dilihat dari kekeluargaan, persahabatan, dan kesederhanaan. Kesederhanaan dalam film ini dapat dilihat dari tokoh sampingan, yaitu Pak Sono yang sama sekali tidak mengharapkan keuntungan dari kedai kopi sederhananya.
            Dari kedua tokoh, Ben dan Jody mengajarkan kepada penonton bahwa definisi persahabatan tidak dari komposisi gula yang manis melainkan dari rasa asli kopi itu sendiri. Untuk unsur intrinsik dalam novel tidak berbeda jauh dengan filmnya.
Dalam Filosofi Kopi ini kami mengangkat salah satu quotes “Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tidak mungkin kamu sembunyikan” lalu kami dapat menafsirkan, bahwa kesempurnaan hidup tetap memiliki celah yang tidak bisa di tutupi dengan berjuta kesempurnaan.














Evaluasi
            Segala sesuatu pastilah memiliki kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan film berjudul “Filosofi Kopi” ini. Seperti kebanyakan karya adaptasi lainnya, tentunya ada beberapa penyesuaian yang membuatnya tidak sesuai dengan cerita aslinya, entah itu mendapat pengurangan atau penambahan bagian. Menariknya, Filosofi Kopi mendapatkan beberapa penambahan yang membuat cerita dari fim ini semakin bisa dinikmati. Penambahan yang paling kuat adalah latar belakang Ben, hubungan ia dengan ayahnya dan sebab ia terobsesi dengan kopi. Di dalam novel, latar belakang Ben tidak begitu dijelaskan, sehingga penambahan ini membuat alur menjadi lebih masuk akal. Selain itu, karakter Ben yang dibawakan oleh Chico Jerico membuat karakter Ben lebih hidup. Kelebihan lain dari film ini adalah penataan musik yang semakin membuat film nikmat untuk ditonton. Akhir cerita yang penonton tunggu pun lebih apik dibandingkan dengan novelnya, karena pada film tak diduga sosok Ben ternyata tertarik hati untuk mengenal lebih dalam si penulis dan pecinta kopi, yang tak lain adalah El. Meskipun demikian, novel dan film Filosofi Kopi sama-sama memiliki kelebihan, yaitu memuat pesan-pesan yang begitu inspiratif dalam kehidupan.
            Sayangnya, film ini juga memiliki kekurangan. Dalam pengambilan adegan, kamera terlalu sering goyang, sehingga membuat penonton sedikit pusing melihatnya. Selain itu para karyawan di Kedai Filosofi Kopi cenderung pasif dan kurang dimanfaatkan kehadirannya. Meskipun begitu, Filosofi kopi adalah karya yang istimewa. Mereka telah membuat karya yang istimewa dengan caranya sendiri.









Rangkuman
            Dengan mengesampingkan kekurangannya, film besutan Angga Dwimas Sasongko pantas menjadi list film yang akan Anda tonton. Terlebih untuk coffee lovers, karena film ini akan mempunyai nilai tersendiri, bagaimana secangkir kopi dibuat, kemudian menceritakan berbagai momen dengan kesan berbeda bagi tiap penikmatnya. Mungkin film ini akan sedikit membosankan untuk penonton jika penonton sendiri tidak terlalu tertarik dengan dunia kopi, tapi masih ada nilai lain yang ditawarkan seperti pesan moral, kekeluargaan, persahabatan, dan kesederhanaan. Mengingat dialog tokoh Ben yang terlalu kasar dan beberapa adegan merokok membuat film ini tidak disarankan untuk anak-anak.
            Untuk novel sendiri, seperti karya Dee lainnya, Filosofi Kopi memiliki daya tarik untuk para pembaca karena gaya bahasa yang digunakan. Novel ini juga cocok untuk tipe orang yang tidak suka membaca beratus lembar halaman. Walaupun novel ini tidak berisikan ratusan lembar, namun pesan yang terkandung dapat tersampaikan kepada pembaca.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Peranan mahasiswa dalam memperjuangkan reformasi

Materi HIV/AIDS