teks ulasan film filosofi kopi
TEKS
ULASAN
“KESEMPURNAAN
HIDUP DARI SECANGKIR KOPI”

Disusun
Oleh
Gendrih Wanodyo Lebdo Gati (10)
Hafid Abi Daniswara (11)
Hanin Kusuma Ardy (12)
Muhammad Rizky Iqbal (20)
Nina Bonita (21)
PEMERINTAH
KABUPATEN TUBAN
DINAS PENDIDIKAN
PEMUDA DAN OLAHRAGA
SMA NEGERI 1 TUBAN
Jalan W.R. Supratman
2 TubanTelp (0356) 321272 Fax (0356)321272
KESEMPURNAAN
HIDUP DARI SECANGKIR KOPI
![]() |
Identitas
novel
Judul : Filosofi kopi
Penulis : Dee Lestari
Penerbit : Trueedi Books dan Gagas Media
Tahun terbit : 2006
Genre : Persahabatan dan kekeluargaan
Halaman : 30
![]() |
Identitas
film
Judul : Filosofi kopi
Sutradara : Angga Dwimas Sasongko
Produser : Anggia Kharisma, Handoko, Hendrayana
dan Glen Fredly
Pemeran : Chicco Jerikho (Beni)
Rio Dewanto (Jodi)
Julie Estelle (El)
Jajang C. Noer (Ibu Seno)
Slamet Rahardjo (Pak Seno)
Atig Pakis (Ayah Ben)
Produksi : Visinema Picture
Durasi : 1 jam 53 detik
Tahun
rilis : 2015
Genre : Persahabatan dan kekeluargaan
Sinopsis Film
Hutang ratusan juta yang diwariskan dari ayah Jody
melilit pada Kedai Filosofi Kopi yang dibangun oleh Jody dan Ben. Saat keduanya
tengah mengatasi masalah hutang, datanglah pengusaha yang ingin memenangkan tender. Ternyata, client pengusaha itu seseorang pecinta kopi. Sayangnya,
Ben tidak tertarik dengan tantangan itu meskipun sudah di bujuk dengan imbalan
uang seratus juta. Jody yang mendengar tawaran itu memiliki pemikiran yang
berbeda dengan Ben. Jody ingin Ben mengambil tantangan itu mengingat Ben yang
pandai meracik kopi tidak menutup kemungkinan mereka memenangkan tantangan .
Ketika Ben dan Jody tengah berbahagia lantaran Ben
berhasil menciptakan “Ben’s Perfecto Coffee” Kedai Filosofi Kopi kedatangan
seorang wanita berparas cantik, El, yang juga pecinta kopi dan tengah sibuk
menulis buku tentang kopi di seluruh Asia. Menurutnya,“Ben’s Perfecto Coffee”
yang ia teguk tak sesempurna namanya, justru Kopi Tiwus di Ijen yang menurutnya
paling sempurna. Ben dan Jody tak punya pilihan lain selain pergi mencari Kopi
Tiwus yang akan menentukan kelangsungan Filosofi Kopi dan persahabatan mereka.
Selain itu mereka juga terdesak karena kekurangan biaya untuk berobat suami
sahabatnya yang juga rekannya di Filosofi Kopi.
Sesampainya di kedai kopi Pak Seno, mereka disuguhkan
Kopi Tiwus buatan Pak Seno. Seusai meneguknya, Ben merasa kenikmatan “Bens’s
Perfecto” tersaingi. Merasa tidak terima dengan rasa kopi Tiwus yang lebih
nikmat, ia melempari banyak pertanyaan kepada Pak Seno dan istrinya.
Sepulangnya dari Ijen, Ben mengundurkan diri dari
Filosofi Kopi, ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, merengkuh
kembali kenangan masa kecilnya. Tak disangka ia dihadapkan fakta tentang
pengorbanan Bapaknya yang tidak ia ketahui selama ini, padahal ia sempat
menjadikan Bapaknya sebagai jajaran orang yang paling ia benci dan menjadi
penyebab ia meninggalkan rumah.
Sinopsis
Novel
Ben, peracik
kopi yang mencari cita rasa kopi yang sempurna. Menurutnya dan temannya, Jody,
kopi tidak hanya diminum, tapi memiliki arti yang mendalam. Mereka membuka
kedai kopi dengan nama “Kedai Koffie”. Ben menarik arti, membuat analogi, hingga
terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis kopi yang berhasil ia racik. Lalu,
mereka mengganti nama kedainya menjadi “Filosofi Kopi”, dengan selogan “Temukan
Diri Anda di sini”, karena semua racikannya memiliki arti tersendiri.
Suatu hari pria perlente berusia 30 tahun-an memberikan
tantangan membuat kopi yang memiliki arti kesuksesan, dimana kesuksesan
merupakan wujud kesempurnaan hidup. Apabila Ben berhasil membuat racikan sesuai
dengan arti tersebut, Ben akan mendapatkan bayaran 50 juta. Hingga akhirnya,
terciptalah “ Ben’s Perfecto Coffee” yang kemudian menjadi menu andalan.
Pengunjung “Filosofi Kopi” semakin ramai, semua itu
karena “Ben’s Perfecto Coffee”. Seorang pengunjung tua yang mampir ke Kedai
Filosofi Kopi untuk mencicipi kenikmatan “Ben’s Perfecto Coffee”, setelah
meneguknya sampai habis, bapak itu tidak segera memuji, tapi cuma berkata
dengan wajah datarnya yang juga diikuti
suara datarnya “Kopi ini enak, tapi menurut saya ada yang lebih enak lagi”.
Karena rasa penasarannya itu, Ben mendatangi alamat yang di berikan Bapak itu
di daerah Merapi, Jawa Tengah. Ternyata kedai kopi di tengah perkebunan teh dan
kopi ini memiliki gaya bangunan yang teramat sederhana, bahkan kesederhanaan
ini juga ada pada pemilik kedai kopi, Pak Seno. Pembeli bisa minum kopi sambil
makan pisang goreng dan membayar dengan uang seadaanya. Setelah Ben meneguk
kopi tiwus, tiba-tiba Ben menghambur keluar, ia duduk sendirian di bawah pohon
besar di luar sana. Tiba-tiba ia mengaku bahwa dirinya kalah. Ben menyodorkan
selembar kertas kepada Jody yang berisikan hak kepemilikan Kedai Filosofi Kopi.
Ben merasa diperalat oleh seseorang yang merasa punya segala-galanya,
menjebaknya dalam tantangan bodoh yang cuma jadi pemuas egonya saja. Ben malu
pada dirinya sendiri yang telah
menjejalkan kegombalan “Ben’s Perfecto Coffee” pada semua pelanggan setiannya.
Sejak hari itu, Ben berhenti meramu kopi, hingga tinggallah Jody yang kerepotan
melayani pengunjung setianya di Kedai Filosofi Kopi. Sejak hari itu juga, Jody
teramat menyadari bahwa dirinya telah kehilangan sahabat terbaiknya.
Tafsiran
Isi
Film
ini menceritakan kisah persahabatan dua anak laki-laki yang memiliki sifat dan
latar belakang keluarga yang berbeda, namun sama-sama memiliki permasalahan
dengan ayahnya, seperti tokoh Jody yang menyalahkan ayahnya atas hutang yang
ditinggalkan “Amsyong banget deh,
punya bapak hutangnya sama toko klontong gedean
utangnya” (Sasongko, 05.26). Sedangkan tokoh Ben gemar berbicara mengenai
filosofi kopi, seperti saat pelanggan
bertanya tentang filosofi kopi tubruk,
ia selalu mempunyai jawaban akan hal itu,
“Kopi Tubruk itu lugu, sederhana, tapi
sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam. Kopi tubruk tidak peduli
penampilannya, kasar, membuatnya pun sangat cepat, seolah-olah tidak
membutuhkan skill yang khusus. Tapi
semua itu akan sia-sia jika Anda kehilangan tujuan yang sebenarnya, yaitu aroma”(Sasongko,
01.57).
Walaupun memiliki kegemaran berfilosofi yang
tinggi, Ben tetaplah Ben, sifat keras kepala tidak bisa dihilangkan dari sosok
Ben, hal ini dibuktikan melalui adegan lelang kopi. Ben kukuh mendapatkan kopi
terbaik, “Jod, gue nggak mau tahu
pokoknya Lo harus dapatin
itu”(Sasongko, 38.18), tapi Jody mampu meredam amarah Ben. Meskipun Ben keras
kepala, tapi ia sangat menjaga persahabatannya dengan Jody, begitu juga dengan
Jody. Jody berusaha mati-matian untuk mempertahankan kedai kopi milik mereka,
meskipun sebenarnya ia bisa kerja di perusahaan, tapi ia selalu membantah saran
teman-temannya. Ia menolak karena mementingkan Ben, sahabat karibnya, “Ya, bisa
aja sih, Ji, kerja sama orang lain, tapi nanti Ben gimana?” bantah Jody pada
salah satu temannya (Sasongko,06.02). Dalam film ini penonton disuguhkan dengan
pemeran sampingan yang memiliki sifat beragam, seperti El yang memiliki sifat
jujur tanpa mempedulikan perasaan orang lain, terbukti saat Ben bertanya
pendapatnya mengenai “Ben’s perfecto coffee”, dengan entengnya menjawab “Not bad.” (Sasongko, 46.12) dan karena hal itulah
membuat Ben tersinggung dengan perkataan El. Selain El, ada juga tokoh sepasang
suami istri yang sabar menghadapi tingkah laku Ben yang kurang sopan, tokoh ini
juga memiliki sifat apik lainnya, yaitu mampu berdamai dengan takdir, terlebih
saat mereka kehilangan Tiwus, anak semata wayangnya, terbukti dari dialog antara Bu Sono, Jody, Ben
dan El “Tapi ya sudah, semua sudah terjadi, mau disesali, mau diapakan, yang
pergi tidak akan kembali”(Sasongko, 01.17.40).
Film bergenre persahabatan ini secara keseluruhan
menggunakan alur maju, tapi pada adegan Ben mengingat masa lalu tentang
keluarganya menggunakan alur mundur(Sasongko, 01.05.56). Layaknya film lain,
film berjudul “Filosofi Kopi” juga menyampaikan ajaran moral pada penonton
untuk bersikap sopan dan menghargai pemberian orang lain(Sasongko,01.00.36).
Nilai moral pada film yang berjudul “Filosofi Kopi” juga dapat dilihat dari
kekeluargaan, persahabatan, dan kesederhanaan. Kesederhanaan dalam film ini dapat
dilihat dari tokoh sampingan, yaitu Pak Sono yang sama sekali tidak
mengharapkan keuntungan dari kedai kopi sederhananya.
Dari kedua tokoh, Ben dan Jody mengajarkan kepada
penonton bahwa definisi persahabatan tidak dari komposisi gula yang manis
melainkan dari rasa asli kopi itu sendiri. Untuk unsur intrinsik dalam novel
tidak berbeda jauh dengan filmnya.
Dalam
Filosofi Kopi ini kami mengangkat salah satu quotes “Sesempurna apapun kopi
yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tidak mungkin kamu
sembunyikan” lalu kami dapat menafsirkan, bahwa kesempurnaan hidup tetap
memiliki celah yang tidak bisa di tutupi dengan berjuta kesempurnaan.
Evaluasi
Segala sesuatu pastilah memiliki kelebihan dan
kekurangan, begitu juga dengan film berjudul “Filosofi Kopi” ini. Seperti
kebanyakan karya adaptasi lainnya, tentunya ada beberapa penyesuaian yang
membuatnya tidak sesuai dengan cerita aslinya, entah itu mendapat pengurangan
atau penambahan bagian. Menariknya, Filosofi Kopi mendapatkan beberapa
penambahan yang membuat cerita dari fim ini semakin bisa dinikmati. Penambahan
yang paling kuat adalah latar belakang Ben, hubungan ia dengan ayahnya dan
sebab ia terobsesi dengan kopi. Di dalam novel, latar belakang Ben tidak begitu
dijelaskan, sehingga penambahan ini membuat alur menjadi lebih masuk akal.
Selain itu, karakter Ben yang dibawakan oleh Chico Jerico membuat karakter Ben
lebih hidup. Kelebihan lain dari film ini adalah penataan musik yang semakin
membuat film nikmat untuk ditonton. Akhir cerita yang penonton tunggu pun lebih
apik dibandingkan dengan novelnya, karena pada film tak diduga sosok Ben
ternyata tertarik hati untuk mengenal lebih dalam si penulis dan pecinta kopi,
yang tak lain adalah El. Meskipun demikian, novel dan film Filosofi Kopi
sama-sama memiliki kelebihan, yaitu memuat pesan-pesan yang begitu inspiratif
dalam kehidupan.
Sayangnya, film ini juga memiliki kekurangan. Dalam
pengambilan adegan, kamera terlalu sering goyang, sehingga membuat penonton
sedikit pusing melihatnya. Selain itu para karyawan di Kedai Filosofi Kopi
cenderung pasif dan kurang dimanfaatkan kehadirannya. Meskipun begitu, Filosofi
kopi adalah karya yang istimewa. Mereka telah membuat karya yang istimewa
dengan caranya sendiri.
Rangkuman
Dengan mengesampingkan kekurangannya, film besutan Angga Dwimas
Sasongko pantas menjadi list film
yang akan Anda tonton. Terlebih untuk coffee
lovers, karena film ini akan mempunyai nilai tersendiri, bagaimana
secangkir kopi dibuat, kemudian menceritakan berbagai momen dengan kesan
berbeda bagi tiap penikmatnya. Mungkin film ini akan sedikit membosankan untuk
penonton jika penonton sendiri tidak terlalu tertarik dengan dunia kopi, tapi
masih ada nilai lain yang ditawarkan seperti pesan moral, kekeluargaan,
persahabatan, dan kesederhanaan. Mengingat dialog tokoh Ben yang terlalu kasar
dan beberapa adegan merokok membuat film ini tidak disarankan untuk anak-anak.
Untuk novel sendiri, seperti karya Dee lainnya, Filosofi
Kopi memiliki daya tarik untuk para pembaca karena gaya bahasa yang digunakan. Novel
ini juga cocok untuk tipe orang yang tidak suka membaca beratus lembar halaman.
Walaupun novel ini tidak berisikan ratusan lembar, namun pesan yang terkandung
dapat tersampaikan kepada pembaca.
Komentar
Posting Komentar