Peranan mahasiswa dalam memperjuangkan reformasi



Peranan Mahasiswa Yogyakarta dalam Memperjuangkan Reformasi di Indonesia pada Tahun 1998

Berbicara tentang reformasi tidak terlepas dari pembicaraan mengenai peranan mahasiswa. Para mahasiswalah yang pertama mencetuskan dan mengobarkan semangat pembaharuan. Perjuangan ini berdasarkan pada keterpurukan nasib bangsa sebagai akibat dari krisis yang menderanya. Di dalam diri para mahasiswa ada keyakinan bahwa krisis multidimensional ini hanya akan terselesaikan jika dilakukan reformasi total. Krisis multidimensional yang dialami oleh negara Indonesia terdapat dalam bidang ekonomi, politik, hukum dan sosial. Terdorong oleh kesadaran ini, para mahasiswa tampil ke pentas politik nasional menyuarakan kepentingan atau suara rakyat. Perjuangan-perjuangan mereka terpusat di Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan kota-kota lainnya.
Peranan mahasiswa Yogyakarta dari berbagai perguruan tinggi ini sangatlah banyak dalam aksi ini. Tiada hari tanpa demo, termasuk hari libur. Minggu 8 Maret, sekitar 50 mahasiswa Yogyakarta yang tergabung dalam kelompok Cipayung Yogyakarta menggelar aksi “Diam Menuntut Perubahan” di Jalan Malioboro, namun ketika hendak bergerak ke Alun-alun Utara dihadang oleh aparat. Peserta aksi itu dinaikan ke truk dan diangkut ke
markas polresta Yogyakarta.
Para mahasiswa marah ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Wiranto Arismunandar menuding mahasiswa amatiran dalam soal politik. Pada saat Mendikbud melantik rektor UGM, para mahasiswa menggelar mimbar bebas dan menuntut Mendikbud untuk menarik kembali ucapannya. Upaya tersebut gagal karena yang bersangkutan meninggalakan tempat tersebut lebih awal dari jadwal. Dari demonstrasi haingga mogok makan dilakukan oleh mahasiswa serta insiden 2-3 April yang terjadi di Bundaran Universitas Gadjah Mada semakin menguatkan hati mahasiswa Yogyakarta dalam memperjuangkan reformasi di Indonesia tahun 1998.
Bertepatan dengan hari Kartini 21 April 1998, Yogyakarta kembali disemarakan dengan demonstrasi. Segenap elemen masyarakat seperti dosen, rohaniawan-rohaniawati, pemuda, pelajar, seniman dan lain sebagainya menyatu dengan mahasiswa di depan gedung Sabha Pramana Universitas Gajah Mada, para peserta aksi yang mencapai 15.000 orang lebih bergabung dalam rapat akbar masyarakat Yogyakarta. Banyak juga tergabung kesatuan aksi mahasiswa lain di dalamnya.
Pada tanggal 5 Mei 1998, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta berkumpul menjadi satu untuk menduduki Jalan Gejayan setelah menggelar aksi di kampus Universitas Sanata Dharma. Bentrokan itu bermula ketika aparat membubarkan secara paksa dengan menyemprotkan gas air mata dan air kepada mahasiswa. Peserta aksi yang kebingungan dan takut segera berlarian sambil membalas dengan lemparan batu ke arah petugas. Petugas yang terpojok segera mengejar mereka hingga keperkampungan penduduk disekitar Jalan Gejayan. Keadaan di Gejayan begitu mencekam karena aparat terus mencari para mahasiswa. Begitu bertemu dengan mahasiswa, langsung dipukul dan diseret. Akibat dari kejadian itu, banyak motor yang diparkir di sekitar IKIP Yogyakarta dan Universitas Sanata Dharma menjadi rusak. Menjelang malam para penduduk di sekitar Gejayan dan Samirono keluar rumah. Mereka membakar ban dan meletakkan berbagai benda di tengah jalan. Aksi demonstrasi di Jalan Gejayan tersebut massa sempat menyandera ketua DPRD DIY Subagyo Waryadi dan Anggota Fraksi ABRI Kolonel Sriyono karena tidak bersedia mengantarkan peserta aksi untuk bergerak menuju DPRD. Tiga hari kemudian bentrokan kembali terjadi di Gejayan. Akibat kejadian itu, Mozes Gatotkaca alumnus Amanat Keluarga Pejuang Republik Indonesia (Akprind) Yogyakarta yang terjebak dikerumunan unjuk rasa itu pun menjadi korban tewas di sebelah Utara Hotel Radisson. Menurut pengakuan rekan-rekannya, Mozes tidak ikut unjuk rasa, melainkan ingin membeli nasi di warung sekitar Mrican.
Tidak hanya mahasiswa yang melakukan aksi di Yogyakarta. Dalam maklumat Sri Sultan dan Sri Paku Alam yang digelar dalam Pisowanan Ageng mendukung gerakan reformasi dan memperkuat kepemimpinan nasional yang sungguh-sungguh memikat rakyat. Dalam Pisowanan Ageng tersebut dihadiri oleh 1 juta orang lebih, baik mahasiswa maupun warga DIY, tersmasuk warga kota lain yang ditutup dengan sambutan massa yang mengelu-elukan Sri Sultan.
Baik pada masa reformasi maupun pada masa sekarang, mahasiswa mengambil peran sangat besar. Gerakan mahasiswa masih tetap berpikir kritis dan memberikan pernyataan sikap terhadap kinerja pemerintah, serta kebijakan-kebijakan. Saat ini peran mahasiswa untuk terus mengawal reformasi masih berjalan.
Mahasiswa sebagai tokoh intelektual masyarakat, dalam kehidupan berdemokrasi, masyarakat memiliki hak penuh untuk berpartisipasi terhadap proses pembuatan kebijakan publik. Mulai memilih pemimpin hingga mengkritisi kebijakan yang dibuatnya. Namun kesadaran untuk turut berpartisipasi dalam proses politik ini masih lemah di kalangan yang tidak berpendidikan, disinilah mahasiswa turut serta dalam pemrakarsa seperti pada masa reformasi.
Kalangan dengan ekonomi menengah bawah seringkali dijadikan obyek dari para elite politik guna mendulang suara ketika pemilihan umum dan kebijakan public yang dirumuskan tidak memihak kepada konstituennya yakni kalangan tersebut yang telah memilihnya. Sebagai kalangan intelektual yang berkesempatan memperoleh pendidikan, mahasiswa memiliki tugas wajib yakni dengan membantu yang tidak berkesempatan menggunakan haknya dalam proses perumusan kebijakan publik.



Daftar Pustaka







Komentar

Postingan populer dari blog ini

teks ulasan film filosofi kopi

Materi HIV/AIDS